Minggu, 08 Juli 2007

STUDI GERAKAN ISLAM KONTEMPORER : DARI ISLAMISME

KE NEO-FUNDAMENTALISME

(Disarikan dari buku Oliver Roy, The Failure of Political Islam (L’èchec de I’Islam politique), penterjemah Calor Volk, Cambridge : Harvard University Press, 1996)

Oleh : Anjar Nugroho

1. Pendahuluan

Buku yang dikupas dalam tulisan ini adalah karya seorang peneliti pada Centre National de la Recherche Scientifique di Paris, Olivier Roy. Judul buku itu adalah L’èchec de I’Islam politique yang dalam edisi Inggrisnya berjudul The Failure of Political Islam. John O. Voll memberi komentar di bagian belakang halaman sampul buku (edisi Inggris) bahwa buku ini merupakan bacaan penting bagi mereka yang ingin memahami evolusi gerakan-gerakan aktivisme religius dan kebangkitan kembali agama di akhir abad ke-20.

Secara ringkas, Olivier Roy dalam buku itu mengungkapkan bahwa aktivitas-aktivitas Islam yang berorientasi politik atau “Islam politik” telah gagal menawarkan model masyarakat baru maupun masa depan dunia Islam yang cerah. Kemenangan politik kaum Islamis di negeri Muslim hanyalah membawa perubahan superfisial di bidang hukum dan adat istiadat. Islamisme, belakangan, berubah menjadi tipe neo-fundamentalisme yang hanya peduli pada penegakan kembali syari’at Islam, tanpa menciptakan bentuk-bentuk politik yang baru. Perekonomian yang mereka gagas hanyalah retorika belaka, sekedar menyelubungi bentuk sosialisme Dunia Islam maupun liberalisme ekonomi. Yang kemudian terjadi adalah, realitas sosial-ekonomi yang menopang gelombang Islamisme tetap berjalan di tempat dan tidak kunjung berubah : kemiskinan, alienasi, krisis nilai dan identitas, kemerosotan sistem pendidikan dan seterusnya.

Dalam studinya Olivier Roy menggunakan pendekatan historis, sosiologis dan hermeneutika sosial (interpretatif sosiologis). Ketiga pendekatan itu digunakan Roy secara sirkuler (terkait satu sama lain) menghasilkan bentuk paparan dan interpretasi fakta historis gerakan-gerakan Islam kontemporer yang – insya Allah - obyektif dan tanpa prasangka

2. Problem (Kegelisahan Akademik)

Oliver Roy mencermati, banyak orang melihat akhir abad ke-20 sebagai era “ancaman Islam”. Merebaknya Islam dalam lanskap politik sering kali dipandang sebagai suatu anakronisme. Dalam pikiran orang-orang Barat, suatu saat nanti para Mullah berjenggot ada di mana-mana, berhamburan keluar Masjid untuk menyerang pelbagai Babylon modern, dan berusaha menciptakan dunia yang reaksioner, irasional dan keras. Namun yang tidak disadari oleh orang-orang adalah, apa yang ada dalam bayangan mereka itu adalah akibat modernitas itu sendiri yang menciptakan bentuk-bentuk protesnya. Inilah awal dari kegelisahan akademik Oliver Roy sebelum ia memulai penelitiannya tentang gerakan-gerakan Islamis kontemporer.

Pada sisi lain, dampak dari dominasi Barat (neo-kolonialisme) di seluruh belahan dunia, tak terkecuali dunia Islam (Timur Tengah), adalah keterbelakangan politik dan ekonomi yang menggugah identifikasi emosional, ummah. Dampak lain modernisasi yang dibawa oleh arus westernisasi (neo-kolonialisme) adalah rasionalisasi pemikiran keagamaan beberapa kalangan Islam, khususnya mereka yang mendapat kesempatan belajar di Barat. Rasionalisme tersebut menyatu dengan doktrin Islam yang puritan sehingga mereka menekankan rasionalitas kaidah-kaidah keagamaan (the rationality of relogious prescrictions). Dan fenomena rasionalisme militan ini sebagai pertanda bahwa modernisme telah menjadi inti wacana Islamisme. Lalu di sinilah Oliver Roy mempertanyakan ; Apakah wacana Islamis mendominasi dunia Muslim?

Di saat modernisme menjalar liar di perhelatan dunia Islam, pemikiran keagamaan kaum Muslim mengarah pada pembacan Islam yang terkuras untuk pembelaan terhadap Islam yang repetitif, tidak kritis, dan tidak demonstratif, karena menurut mereka, Islam memiliki jawaban atas semua masalah dunia modern. Mereka – kaum Islamis – saat ini berada pada tahap “kekecewaan terhadap dunia (disenchentment of the world)”. Dengan menolak westernisasi yang sudah terjadi, mereka mengungkapkan mitos otentisitas dengan bahasa pinjaman, bahasa yang tidak otentik (inauthentic language).

Kegelisahan Oliver Roy berikutnya adalah, ketika kelompok Islamis melakukan gerakan-gerakan, menurut Roy, langkah politik kaum Islamis tersebut, bukannya menuntun ke arah pembentukan negara atau masyarakat Islam, tetapi malah terjerembab dalam logika negara (seperti kasus Iran), atau pengotakan tradisional, walaupun sudah disusun ulang (kasus Afganistan). Apapun yang dilakukan pelakunya, semua langkah politik secara otomatis berarti penciptaan ruang sekular atau kembali ke pengotakan tradisional. Di sinilah, menurut Roy, letak batas politisasi agama.

Dalam perkembangan selanjutnya, gerakan-gerakan Islamis tersebut terombang ambing dalam dua kutub yang berhadapan secara diametral, yaitu kutub revolusioner dan kutub reformis. Kutub revolusioner menekankan pada islamisasi masyarakat melalui kekuasaan negara. Sementara kutub reformis menekankan pada tindakan sosial dan politis terutama bertujuan reislamisasi masyarakat dari bawah ke atas, yang dengan sendirinya akan mewujudkan negara Islam. Bisakan kedua kutub tersebut ditempatkan pada skala kronologis yang akan bergerak dari Islamisasi dari atas ke bawah (Islamisme) ke Islamisasi dari bawah ke atas (neo-fundamentalisme)? Ini juga bagian dari kegelisahan Oliver Roy yang ingin dijawab dalam penelitiannya.

Kegelisahan Oliver Roy semakin bertambah setelah menyaksikan proyek re-Islamisasi konservatif yang banyak dipraktekkan oleh penguasa-penguasa di Timur Tengah yang dimaksudkan untuk mengurangi oposisi kelompok Islam dan untuk mendapatkan kembali legitimasi religius. Proyek tersebut telah melahirkan gerakan fundamentalisme baru yang secara ideologis konservatif tetapi secara politik radikal. Gerakan neo-fundamentalisme ini secara umum tidak banyak berkaitan dengan strategi dan kebijakan negara. Pada tahap awal, gerakan ini tidak terlalu politis dibanding dengan gerakan Islam, yakni tidak hanya peduli terhadap pendefinisian negara Islam yang benar tetapi lebih memperhatikan implementasi syari’at Islam.

3. Pentingnya Topik Penelitian

Studi yang dilakukan Oliver Roy ini tidak berbicara tentang Islam secara umum dan bukan pula tentang letak politik dalam budaya Islam. Aktivis yang memandang Islam tidak hanya sebagai agama, tetapi juga ideologi politik, dan oleh karena itu mereka tercerabut dari akar tradisi mereka sendiri. Dalam beberapa dasawarsa, khususnya dasawarsa terakhir, gerakan-gerakan ini memposisikan diri sebagai penantang dunia Barat mapun rezim-rezim yang ada di Timur Tengah.

Apakah gerakan Islam politik kontemporer itu telah menawarkan alternatif bagi masyarakat Muslim? atau kah mereka telah mengalami kegagalan, bukan hanya dalam meraih kekuasaan tetapi juga untuk menciptakan sebuah masyarakat Islam baru? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi topik inti yang dibahas tuntas dalam studi Oliver Roy.

Penelitian Oliver Roy itu menjadi penting untuk dikaji lebih lanjut oleh kalangan Muslim karena beberapa alasan; Pertama, karena dalam peneliannya Roy terpapar bagaimana fenomena Islam politik menyeruak dalam dunia Islam sebagai artikulasi imajinasi politik Islam yaitu yang tergambar dalam sebuah pernyataan “dalam Islam tidak ada pemisahan antara politik dan agama”. Ini berguna untuk melakukan reinterpretasi terhadap ajaran Islam, khususnya yang bersinggungan dengan isu-isu politik.

Kedua, Roy menggambarkan secara empirik dan kongkret bagaimana fenomena gerakan Islamis kontemporer menggeliat di beberapa negara Muslim dengan segala aktivitas dan isu politik yang diusungnya. Fenomena gerakan itu, memberikan kontribusi positif sekaligus negatif bagi dunia dan masyarakat Islam. Inilah lahan evaluasi kritis bagi kalangan muslim untuk merumuskan kembali artikulasi Islam politik di dunia Islam, sehingga sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang humanis, toleran dan liberatif.

4. Hasil Penelitian Terdahulu

Dalam melakukan upaya-upaya serius penelitiannya, Oliver Roy banyak terinspirasi secara intelektual oleh beberapa karya penelitian terdahulu, diantaranya adalah :

Pertama, Bertrand Badie dalam bukunya Les deux etats. Badie telah menyorot begitu tajam ketidakberhasilan negara modern di dunia Muslim untuk mengartikulasikan sistem demokrasi yang bisa menjadi alat efektif dalam mengakomodir sekaligus mengeliminasi gerakan-gerakan Islam konservatif-radikal. Dalam pandangannya pula, “budaya Islam” adalah penghambat utama yang mencegah akses ke modernitas politik.

Kedua, Mohammed Arkoun dalam karyanya Critique de la raison islamique. Arkoun oleh Oliver Roy diposisikan sebagai satu-satunya pemikir kontemporer yang mengupayakan “kritik” sejati tentang pemikiran Islam oleh Muslim sendiri, yang selama ini pemikiran Islam dianggap sebagai ajaran yang abadi, ahistoris dan kedap kritik. Arkoun dalam buku tersebut berusaha menemukan ”maksud” asli, “kebenaran al-Qur’an” yang berbeda dengan “kebenaran Islam”. Upaya ini membuktikan bahwa pembaharuan tanpa pengingkaran bisa dilakukan. Namun, Oliver Roy memberi catatan, sehubungan dengan Islam politik kontemporer, pemikiran Arkoun, kendati melapangkan jalan untuk masa mendatang, pengaruhnya masih tetap marjinal.

Ketiga, Dale Eickelman dalam bukunya The Midle East : An Anthropology Approach. Buku Eickelman itu telah memberi inspirasi kepada Oliver Roy untuk lebih memahami kawasan Timur Tengah, tempat persemaian gerakan-kerakan Islamis baik revolusioner maupun reformis, dengan pendekatan antropologis. Pendekatan ini penting untuk melihat akar-akar geneologis baik politis maupun ideologis yang mendasari munculnya gerakan-gerakan Islam kontemporer dengan berbagai corak dan kepentingan yang diusungnya. Tentu munculnya gerakan-gerakan itu tidak serta merta dan kedap dengan pengaruh-pengaruh budaya politik setempat.

Keempat, Emmanuel Sivan dalam bukunya Radical Islam : Medieval Theology and Modern Politic. Buku Sivan tersebut telah memberi informasi yang kaya tentang akar-akar historis dan teologis gerakan-gerakan Islam radikal. Di samping itu Sivan juga menguraikan secara kronologis munculnya gerakan-gerakan radikal dan sekaligus menjelaskan jaringan-jaringan (networking system) yang digunakan oleh gerakan-gerakan itu untuk berhubungan antara satu dengan yang lainnya.

Kelima, John L. Esposito dalam karyanya Voices of Resourgent Islam. Buku Esposito ini mengungkap secara komprehensip dan kritis-analitis terhadap pandangan tokoh-tokoh Islam tentang cita-cita politik Islam, demokrasi dan civil society yang menjadi wacana hangat di dunia Islam sampai sekarang. Dalam buku itu, misalnya, Esposito mengutip pendapat Hasan al-Turabi yang menyatakan : “(Dalam demokrasi Islam) idealnya tidak ada kelompok ulama, yang akan mencegah terwujudnya pemerintahan elitis atau teokratis”.

5. Kerangka Teori dan Pendekatan

Oliever Roy dalam studinya gerakan-gerakan Islam kontemporer menggunakan setidaknya tiga pendekatan yang dikelola secara sirkuler (saling terkait). Pendekatan itu adalah historis, sosiologis dan hermeneutika sosial (interpretatif-sosiologis) dengan menitik tekankan pada metode verstehen (pemahaman)[1]. Melalui pendekatan sejarah Olivier Roy dapat melakukan periodisasi atau derivasi sebuah fakta, dan melakukan rekonstruksi proses genesis : yakni perubahan dan perkembangan. Dengan cara itu gerakan-gerakan Islam kontemporer yang menjadi subyek penelitian Roy, dapat dilacak asal mula situasi yang melahirkanya.

Temuan Roy dalam studinya dengan pendekatan historis antara lain dengan mengungkap dan menjelaskan munculnya gerakan Islamisme sampai munculnya gerakan neo-fundamentalisme.

a. Munculnya Islamisme

Asal mula pemikiran dan gerakan Islamis dewasa ini bisa ditelusuri sampai ke gerakan Ikhwan al-Muslimin yang didirikan oleh Hasan al-Banna di Mesir tahun 1928 dan jamaat-I Islami yang didirikan Abu al-A’la al-Maududi pada tahun 1941 di Pakistan.[2]. Kaum Islamis umumnya menganut teologi Salafi. Mereka menganjurkan gerakan kembali ke al-Qur’an, Sunah, dan hukum syari’at serta menolak khasanah tradisi (khususnya filsafat).

Kaum Islamis berpendapat bahwa masyarakat hanya bisa diislamkan melalui aktivitas sosial dan politik : perlu keluar dari masjid. Gerakan Islamis lebih memilih terlibat langsung dalam kehidupan politik. Sejak tahun 1960-an beberapa kali mereka mencoba meraih kekuasaan. Gerakan Islamis memiliki argumen politik yang berpijak pada asas bahwa Islam adalah sistem pemikiran global dan menyeluruh (a global and synthesizing system of thought). Menurut mereka, masyarakat yang terdiri dari orang-orang Islam saja tidak cukup, tetapi juga harus islami dalam landasan maupun strukturnya. Kelompok Islamis tidak dipimpin oleh ulama (kecuali di Iran), melainkan oleh para intelektual muda sekuler – yang secara terbuka mengklaim diri mereka sebagai “para pemikir keagamaan (religious thinkers)”- yang merupakan pesaing sekaligus penerus kelas ulama yang telah berkompromi dengan penguasa.kaum Islamis mencela para ulama karena dua hal : pertama, penghambaan mereka pada kekuasaan yang membuat mereka menerima pemerintahan dan hukum sekuler yang tidak sesuai dengan syari’at. Kedua, sikap kompromistis mereka dengan modernitas Barat.

Kelompok Islamis tidak mau mengambil sikap devensif, berdamai, maupun apologetik seperti banyak kalangan “modernis” Muslim yang mau menunjukkan kemoderenan Islam dengan menggunakan ukuran nilai dan konsep-konsep Barat. Bagi kaum Islamis, persoalannya bukanlah untuk menunjukkan bahwa Islam mewujudkan nilai universal secara sempurna, melainkan sebaliknya, Islam-lah nilai universal itu dan tidak perlu diperbandingkan dengan agama atau sistem politik yang lain.[3]

Bagaimana cara mewujudkan masyarakat yang Islami? Kaum Islamis moderat dan radikal berbeda pendapat tentang topik ini sepanjang sejaran Islamisme. Kaum moderat mendukung proses Islamisasi dari bawah ke atas (bottom up), melalui media khutbah dan gerakan sosiokultural sembari mendesak para pemimpin (khususnya melalui aliansi politik) agar menggalakkan Islamisasi dari atas (memasukan syari’at Islam dalam perundang-undangan). Mereka menerima opsi revolusi hanya bila negara jelas-jelas bersikap anti Islam dan bila semua cara protes damai telah mengalami jalan buntu. Sementara kalangan radikal berpandangan bahwa tidak boleh ada kompromi dengan masyarakat Muslim yang sekarang (dhalim dan korup). Mereka menganjurkan perpecahan politik serta memperkenalkan konsep revolusi yang dipinjam dari ideologi-ideologi progressif abad ini. Walau ada perbedaan dalam penekanan gerakan antara kaum moderat dan radikal, gerakan-gerakan Islamis menawarkan doktrin yang jelas dan saling terjalin, selain juga moder organisasinya yang baru. Mereka telah mengakar di wilayah-wilayah yang secara sosiologis modern, dengan memutus secara tuntas lingkungan intelektual dan sosial para ulama tradisional.

b. Evolusi dari Islamisme ke neo-fundamentalisme

Selama tahun 1980-an terlihat ada pergeseran Islamisme politik ke neo-fundamentalisme. Kaum militan yang sebelumnya berjuang untuk revolusi kini terlibat dalam proses reislamisasi dari bawah. Evolusi ini ditentukan oleh beberapa faktor : pertama, tunduknya, dalam Islamisme itu sendiri, tindakan yang bersifat murni politik pada reformasi moralitas; kedua, hilangnya model Iran; ketiga, ketidakberhasilan upaya-upaya teroris atau revolusioner; ketiga, dipakainya simbol-simbol Islam oleh negara, sementara negara konservatif seperti Arab Saudi mulai membiayai dan dengan demikian menguasasi jaringan Islamisme lantas berupaya mempengaruhi kegiatan dan ideologi mereka ke arah neo-fundamentalisme yang lebih konservatif.

Orientasi gerakan neo-fundamentalisme antara lain mengganti proyek ideologi revolusioner dalam mengubah masyarakat digantikan dengan rencana pemberlakuan syariat dan pembersihan moral, sementara bidang politik, ekonomi dan sosial hanya dihadapi dengan retorika. Perempuan tidak boleh ikut serta dalam politik. Hak ijtihad individu dilepas. Menghilangkan ruang bagi refleksi politik dan elitisme asketis, sehingga gerakannya terpusat pada tindakan untuk mengisi kehidupan sehari-hari dengan moralitas dan menegakkan syari’at.

Transformasi gerakan Islamis menjadi neo-fundamentalis bukan saja mengurangi orisinalitas mereka sendiri, tetapi juga model ketaqwaan yang mereka tawarkan itu lebih mengedepankan formalisme dan penampilan. Untuk tidak mengatakan kemunafikan (hypocrisy). Neofundamentalisme yang ada hanyalah Islamisme pinggiran/gembel (lumpen islamism)

Evolusi gerakan Islamis itu melahirkan tiga strategi baru yang menjadi model gerakan Islamis kontemporer. Pertama, keikutsertaannya dalam kehidupan politik resmi; kedua, keterlibatan baru di lingkup sosial, baik di tataran moral, adat-istiadat mapun perekonomian; ketiga, pembentukan kelompok-kelompok kecil, baik gerakan keagamaan yang ultrakolot (ultra orthodox religious movements) dan kelompok teroris.

Untuk menjelaskan fenomena gerakan Islamisme, Oliver Roy juga menggunakan pendekatan sosiologis. Melalui Pendekatan ini, Roy dapat menjelaskan atau mengungkap akar-akar sosiologis munculnya gerakan Islamis, eksistensi gerakan itu dalam ranah sosial-politik dan pengaruhnya terhadap tatanan sosial baru, dan proses evolusi yang melahirkan bentuk-bentuk gerakan baru, khususnya yang terkait dengan faktor-faktor sosiologis (misalnya : perubahan struktur sosial-politik, perubahan pemahaman doktrin keagamaan dan sebagainya). Dan yang luput dari perspektif sosiologis adalah pergesekan antar kelompok gerakan Islamis yang berakibat positif dan negatif. Temuan Olivier Roy dengan perspektif sosiologis antara lain tampak dalam paparan sebagai berikut :

Gerakan Islamis berkembang selama lebih dari setengah abad, dan dimulai sekitar tahun 1940. Bila dilihat dari perspektif sosiologis, kaum Islamis adalah kelompok yang modern secara sosiologis dan berasal dari sektor-sektor masyarakat modernis. Islamisme bukanlah reaksi terhadap modernisasi masyarakat muslim, melainkan justru produk dari modernitas. Para aktivisnya jarang sekali dari golongan mullah (ulama konservatif). Mereka produk-produk muda dari sistem pendidikan modern. Kaum muda ini berasal dari keluarga-keluarga urban baru atau kelas menengah yang jatuh miskin. Mereka tidak memperoleh pendidikan-pendidikan politik di sekolah-sekolah agama, melainkan di kampus-kampus umum. Di sana mereka bersentuhan dengan kaum Marxis militan, yang konsep-konsepnya sering mereka pinjam (khususnya gagasan revolusinya) untuk dimasuki istilah-istilah Qur’ani (seperti : dakwah dan khatbah/propaganda).

Salah satu alasan gerakan Islamis ini adalah semakin hilangnya momentum ideologi maupun kelompok sekuler (nasinalis maupun marxis) adalah memenuhi harapan untuk protes. Kemajuan gerakan Islamis di lingkungan intelektual bisa juga dijelaskan oleh adanya krisis ideologi. Hilangnya gengsi ideologi progressif secara umum dan ketidakberhasilan model “sosialis Arab” telah menyisakan ruang bagi munculnya ideologi-deologi protes baru dalam masyarakat yang sudah terdestrukturisasi.

Satu lagi alasan adalah faktor modernisasi yang menimbulkan budaya konsumerisme dan hedonisme di tengah-tengah kondisi sosial-ekonomi yang disparitatif. Fenomena ini menimbulkan kecemburuan di kalangan miskin kota, sehingga timbul protes dan kerusuhan. Dan di sinilah momentum kelompok Islamis untuk memposisikan diri sebagai gerakan yang mewadahi kekecewaan kaum muda atas imbas modernitas. Lalu kaum Islamis mencoba melakukan “resosialisasi” atas struktur sosial yang demikian itu dan semuanya dilakukan dengan semangat puritan. Sehingga munculah model busana dan tampilan muslim (jubah dan jenggot) sebagai bentuk “perlawanan” terhadap degradasi nilai yang begitu cepat dan nyata di kota-kota. Dan sini bisa dilihat bahwa kaum Islamis adalah produk dan aktor urban modern dipandang dari sosiologi asal mula mereka dan upaya mereka membangun ruang urban baru.

Selain dengan dua pendekatan di atas (historis dan sosiologis), Roy juga menggunakan pendekatan hermeneutika sosial (interpretatif sosiologis) dengan penekanan pada metode vertehen (pemahaman). Pendekatan ini berguna untuk memberi makna atas peristiwa-peristiwa yang telah dipaparkan secara historis-sosiologis. Fungsi pendekatan ini adalah agar tidak terjadi distorsi pesan atau informasi antara fakta historis-sosiologis (fenomena teks), pelaku sejarah (author) dan peneliti (reader). Contoh penerapan pendekatan ini dalam studi Olivier Roy antara lain tampak dalam bagaimana Roy memaknai gerakan protes kaum Islamis, yang bahkan dalam beberapa kasus mengambil bentuk radikal. Gerakan protes itu dimaknai sebagai respon kreatif atas berbagai bentuk penyimpangan kekuasaan yang telah dilakukan oleh penguasa-penguasa saat itu. Dan dari sisi inilah Olivier Roy menemukan titik obyektifitas sebagai peneliti ; tidak memihak dan berprasangka.

6. Ruang Lingkup dan Istilah Kunci Penelitian

Penelitian Olivier Roy terfokus studi atas gerakan-gerakan Islam kontemporer yang dia petakan dalam beberapa periodesasi dan kategorisasi. Gerakan-gerakan itu muncul sebagai respon atas fenomena sosiologis modernitas sekaligus fenomena politik dalam negeri. Gerakan Islamis itu sendiri berbeda dalam merespon gejala itu, ada yang mengambil bentuk gerakan moderat dan radikal, ada yang realistis ada yang utopis. Sampai akhirnya, begitu kesimpulan Roy, semua gerakan-gerakan itu mengalami kegagalan, karena tidak berhasil mewujudkan bentuk masyarakat baru yang menjadi inti tujuan (core of purpuse) mereka. Sehingga tampak dalam studi Olivier Roy beberapa kata kunci (key word) yang menjadi petunjuk akademis antara lain : Fundamentalism, Islamism, radicalims, conservatism, Neo-fundamentalism, lumpen intelligentsia dan lumpen Islmist

7. Kontribusi dalam Ilmu-Ilmu Keislaman

Penelitian Oliver Roy tentang gerakan-gerakan Islamisme kontemporer sangat berguna bagi khasanah ilmu politik Islam yaitu untuk menuntaskan kaitan antara Islam dan politik atau Islam dan negara. Karena dikalangan Islam akhir-akhir ini muncul harapan adanya adanya gagasan tentang politik atau negara yang artikulatif, dan bukan sekedar klaim-klaim seperti yang terjadi selama ini.

Buku The Failure of Political Islam karya Oliver Roy meletakkan persoalan-persoalan di atas (hubungan Islam dan politik) dalam konteks dunia Islam yang lebih kongkret. Penelitian Roy itu lebih mengemukakan kenyataan empirik tentang perkembangan Islam politik dan ideologis yang meghadirkan tantangan kepada dunia Barat dan penguasa negara-negara Islam sendiri. Dan yang lebih penting, buku Roy ini, lepas dari beberapa kekurangan, penting untuk satu masukan atau bahan menyempurnakan pikiran-pikiran umat Islam tentang Islam dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan politik.

8. Logika dan Sistematika Penulisan

Oliver Roy memulai penulisan studi gerakan Islam kontemporernya dengan memaparkan pilar-pilar sosiologis gerakan Islamis serta kerangka konseptual gerakan tersebut. Dalam pembahasasn ini, Roy melihat ada hubungan erat antara ideologi Islam, yang terobsesi dengan negara dan status kaum intelegensia modern yang melemah. Selanjutnya Oliver Roy menelusuri pergeseran Islamisme politik ke neo-fundamentalisme yang lebih konservatif – yang model etis mendahului falsafah politiknya. Berikutnya, Roy mengamati gugusan kelompok Islamis kontemporer.

Penelitian yang dilakukan oleh Oliver Roy menunjukkan, bahwa gerakan-gerakan Islamis kontemporer – walau ada kedekatan ideologis – tidak pernah menggumpal menjadi geraka Islamis internasional. Sebaliknya, logika negara justru telah mendominasi percaturan geostrategis di Timur Tengah. Akhirnya, Oliver Roy mencermati dua kasus kongkret : yakni Afganistan dan Iran. Afganistan menunjukkan bagaimana ideologi jihad dan Islamisme gagal mengatasi pengotakan tradisional dan justru menyediakan kerangka bagi pengulangannya. Sedangkan Iran, revolusi yang digerakkan sama dengan gerakan Dunia Ketiga maupun Islamis. Kendati proyek revolusioner mereka merupakan satu-satunya yang berhasil Iran segera menupup diri dalam ghetto Syi’ah dan sekarang kembali pada model masyarakat “Saudi” yang konservatif itu.



[1] Ketiga pendekatan itu penulis mendapatkan penjelasannya dari bukunya Prof. Dr. Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, dan penulis perkaya keterangannya dari beberapa buku diantaranya karya T Karim Abdullah, Metodologi Penelitian Agama; Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik; dan Bagong Suyanto, Metode Penelitian Sosial.

[2] Oliver Roy memperoleh banyak data tentang gerakan ini dari karya R.P. Mitchell, The Society of Muslim Brothers dan K. Bahadur, The Jama’at-I Islami of Pakistan

[3] Pemikiran kaum Islamis yang demikian ini di-breakdown oleh Olivier Roy dari pemikiran Ali Syari’ati yang telah menggeser eskatologi Syi’ah menjadi watak revolusioner.